Oleh: Prof. Idris, Guru Besar Ekonomi Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Padang
Bencana banjir yang melanda Sumatera Barat baru-baru ini menyisakan persoalan serius terkait pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu fenomena mencolok adalah ditemukannya potongan-potongan kayu yang terbawa arus dari kawasan hutan hingga ke pantai. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana regulasi dan kebijakan lingkungan hidup mampu mencegah kerusakan lingkungan dan dampak bencana?
Regulasi Ada, Penegakan Lemah
Indonesia sebenarnya telah memiliki perangkat regulasi yang cukup lengkap, mulai dari Undang-Undang, Peraturan Menteri, Surat Edaran Dirjen, Peraturan Daerah Provinsi, hingga Perda Kabupaten/Kota. Namun, persoalan utama bukan pada ketersediaan aturan, melainkan pada lemahnya law enforcement atau penegakan hukum.
Sebagus apapun regulasi yang dibuat, tanpa adanya political will untuk menegakkannya, aturan tersebut hanya akan menjadi dokumen tanpa makna. Contoh nyata adalah maraknya aktivitas tambang emas di sungai-sungai yang seolah dibiarkan tanpa pengawasan. Ketidakseriusan dalam penegakan hukum ini memperburuk kerusakan lingkungan dan meningkatkan risiko bencana.
Kerusakan Hulu, Dampak di Hilir
Jika hutan di daerah catchment area (daerah tangkapan air) bagian hulu tetap terjaga dalam kondisi closed primary forest, maka meskipun terjadi hujan ekstrem, air akan tertahan di hulu. Penumpukan ini terjadi karena hutan berfungsi sebagai buffer hidrologis. Namun, ketika kapasitas tanah dan vegetasi untuk menyerap air terlampaui, air akan mengalir keluar dalam bentuk air bah. Perbedaannya, air bah dari hutan yang masih utuh tidak membawa material besar seperti kayu, lumpur, atau batuan, karena struktur vegetasi dan akar masih mampu menahan erosi atau longsor.
Sebaliknya, jika hutan rusak (misalnya berubah menjadi lahan terbuka atau pertanian), air bah akan membawa material besar yang menyebabkan kerusakan parah di hilir—seperti yang kita saksikan sekarang.
Tambahan Perspektif: Pentingnya Valuasi Ekonomi Hutan
Hutan sebagai sesuah ekosistem memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Untuk mengestimasi nilai Nilai Ekonomi sumber daya hutan dapat digunakan pendekatan nilai ekonomi total (Total Economic Value/TEV)(Munasinghe, 1993), yang mencakup:
Nilai Guna Langsung (Direct Use Value): seperti makanan (binatang buruan), pemanenan kayu, wisata alam dan tanaman obat-obatan.
Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value): seperti fungsi hidrologi, penyerapan karbon, stabilisasi tanah.
Nilai Pilihan (Option Value): manfaat yang disimpan untuk masa depan, misalnya keanekaragaman hayati.
Nilai Keberadaan (Existence Value): kesediaan membayar untuk menjaga keberadaan hutan.
Nilai Warisan (Bequest Value): menjamin generasi mendatang dapat memanfaatkan sumber daya.
Selain itu, kerusakan hutan berarti kehilangan deposit karbon, yang harus dihitung sebagai biaya (opportunity cost).
Data Penting: Perubahan Karbon Akibat Konversi Lahan
Jenis Hutan
Cadangan Awal (tC/ha)
Kehilangan saat jadi Pertanian Permanen
Closed Primary
283
-220
Closed Secondary
194
-152
Open Forest
115
-52
Implikasi:
Kerusakan hutan primer tidak hanya menghilangkan fungsi hidrologis, tetapi juga melepaskan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer, mempercepat pemanasan global. Ini memperkuat urgensi skema kredit karbon sebagai insentif menjaga hutan.
Hutan = Bank Karbon
Skema pengelolaan hutan berkontribusi besar dalam perdagangan karbon.
Dalam skema Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), setiap hektar hutan mampu menyerap 20–58 ton CO₂, dengan harga karbon berkisar $5–$10 per ton.
Artinya, menjaga hutan bukan hanya soal ekologi, tetapi juga peluang ekonomi melalui perdagangan karbon.
Skema Kredit Karbon
Konsep:
Setiap hektar hutan yang dipertahankan menyerap 20–58 ton CO₂/tahun.
Harga karbon: $5–$10 per ton.
Artinya, menjaga hutan bisa menjadi sumber pendapatan melalui perdagangan karbon.
Skema:
Industri → Emisi CO₂ → Membeli kredit karbon → Dana untuk konservasi hutan.
Rekomendasi Kebijakan
Integrasikan Valuasi Ekonomi dalam Pengambilan Keputusan
Setiap kebijakan pengelolaan hutan harus berbasis analisis ekonomi seperti Benefit-Cost Analysis dan Internal Rate of Return.
Penguatan Penegakan Hukum
Pemerintah harus memiliki keberanian politik untuk menindak pelanggaran, termasuk aktivitas tambang ilegal.
Rehabilitasi Kawasan Hulu dan Pengendalian Pembukaan Lahan
Pembukaan lahan dengan sistem pembakaran harus diawasi ketat karena berdampak pada pelepasan karbon.
Penghitungan Neraca Sumber Daya Hutan (NSDH)
NSDH harus mencakup fungsi hutan, tipe penutupan, potensi kayu, dan nilai moneter termasuk jasa lingkungan seperti karbon.
Kesimpulan:
Regulasi tanpa penegakan hukum hanya akan menjadi dokumen atau arsip saja. Penegakan hukum yang kuat, disertai valuasi ekonomi sumber daya hutan dan skema kredit karbon, adalah kunci untuk mencegah bencana dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Hasil Penjualan “Credit Carbon” merupakan salah sumber pendapatan yang berkelanjutan.
#unp
#universitasnegeripadang
#recovery
#pemulihanpascabencana
#bencanasumbar
#unpberdampak
#sdgs13
#climateaction
#sdgs15
#lifeonland
#mitigasibencana
#hutan
#kehutanan
