Oleh :Hj.Padliyati Siregar ST
Direktorat Penerangan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kemenag RI menggelar kegiatan Ngaji Budaya dan Tradisi Islam di Nusantara bertempat di Aula MAN 3 Palembang, Jumat (28/11/2025). Kegiatan bertajuk Merawat Keberagaman Tradisi dan Budaya di Bumi Sriwijaya ini melibatkan lebih dari 500 peserta yang terdiri dari pegawai Kemenag, Penyuluh Agama Islam, mahasiswa UIN Raden Fatah.
Kegiatan Ngaji Budaya dan Tradisi Islam di Nusantara menjadi salah satu ikhtiar dalam mengokohkan kembali akar-akar kearifan lokal. Ngaji Budaya hadir sebagai ruang kontemplasi untuk menggali kembali warisan intelektual dan tradisi Islam yang lahir dari proses akulturasi.
“Melalui kegiatan ini, kita berusaha membangun kesadaran bahwa ajaran Islam yang hadir di Nusantara. Sejak awal bukanlah kekuatan untuk menghapus budaya, melainkan menyempurnakan, memuliakan, dan menuntun budaya lokal menuju nilai-nilai kemaslahatan,” jelas Zayadi.
Menurut Zayadi, Kemenag berkomitmen untuk terus memperkuat peran seni dan budaya Islam sebagai instrumen dakwah kultural yang menebarkan nilai-nilai moderasi beragama, toleransi, dan harmoni sosial di tengah keberagaman masyarakat Indonesia.
Melalui pendekatan seni dan budaya, nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin dapat disampaikan secara lebih inklusif, kreatif, dan menyentuh berbagai lapisan masyarakat.
“Kegiatan ini diharapkan menjadi pemantik bagi peserta kegiatan dalam menemukan kembali jati diri ke-Indonesiaan yang berakar pada tradisi, kearifan lokal, dan nilai-nilai Islam yang ramah budaya.
Mari bersama-sama berikhtiar merawat sebuah peradaban agar nilai-nilai luhur yang mengalir dalam tradisi Islam di Nusantara terus hidup, dan diteruskan di masa yang akan datang,” ajak Zayadi.
Moderasi beragama tidak pernah berhenti digaungkan dalam berbagai kemasan agar menarik minat umat Islam. Dari acara tersebut di atas, tampak nyata bahwa ada perhatian lebih terhadap budaya dan kearifan lokal.
Mereka menilai bahwa budayalah yang mampu mempersatukan keberagaman di negeri ini dan dapat menjaga terwujudnya kerukunan antarumat beragama. Mereka berpandangan bahwa yang menjadi pemersatu adalah moderasi beragama atau Islam moderat.
Namun sejatinya tujuan Islam moderat adalah hendak menggiring umat Islam, termasuk generasi mudanya, untuk makin jauh dari pemahaman Islam yang lurus. Padahal, dalam pandangan Islam, keberagaman budaya dan suku bangsa tidak pernah menjadi masalah.
Keberagaman dalam suatu masyarakat merupakan hal alami dan Islam tidak pernah mencela adanya masyarakat yang plural.
Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Hujurat: 13,
يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti
Kedudukan Budaya dalam Pandangan Islam
Adat istiadat atau budaya (bahasa Arab: al-‘adat atau al-‘urf) adalah produk pemikiran. Tidak dalam bentuk materi, melainkan nonmateri. Oleh karenanya, adat/budaya adalah bagian dari hadharah (peradaban), bukan madaniyah (produk materi).
Sebagai produk pemikiran, adat/budaya lahir dari akidah tertentu. Sebab itu, ketika suatu budaya bertentangan atau tidak sesuai dengan syariat Islam, budaya tersebut lahir dari akidah lain, bukan dari akidah Islam.
Memang ada sebagian fukaha menjadikan adat/budaya sebagai dalil. Alasannya karena Allah Swt. memerintahkan,
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ
“Jadilah pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang makruf, dan jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf: 199)
Mereka menggunakan frasa “wa’mur bi al-urf” (suruhlah mengerjakan berdasarkan kebiasaan) sebagai justifikasi. Padahal, klaim ini justru keliru. Jika kita mendalami ayat ini, sebenarnya tidak ada relevansinya dengan adat/budaya.
Ayat tersebut merupakan Ayat Makkiyah yang diturunkan sebelum Nabi saw. hijrah ke Madinah. Makna ayat ini adalah, “Ambillah perbuatan, akhlak masyarakat, dan apa saja yang datang dari mereka yang dibenarkan untukmu (Muhammad). Kamu pun mudah berinteraksi dengan mereka, tanpa beban. Kamu tidak meminta jerih payah dari mereka dan apa saja yang bisa memberatkan mereka sehingga mereka lari.”
Mengenai perintah “wa’mur bi al-‘urfi” maknanya adalah wa’mur biljamili minal af’aal (perintahkanlah perbuatan baik). Konotasi ‘urf di sini adalah al-ma’rûf (perbuatan yang terpuji). (an-Nabhani, Syekh Taqiyuddin. Ash-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah. Juz 3).
Di samping itu, adat/budaya tidak memiliki akar (ushûl), baik dalam Al-Qur’an, Sunah, maupun ijmak sahabat. Oleh karenanya, adat/budaya sama sekali tidak bernilai sebagai dalil syariat. Hal apa pun tidak diakui sebagai dalil syariat kecuali dinyatakan oleh nas Al-Qur’an dan Sunah.
Lebih dari itu, ‘urf atau budaya adalah perbuatan yang dilakukan terus-menerus. Telah kita pahami bersama bahwa semua perbuatan—apa pun bentuknya—harus kita laksanakan berdasarkan syariat Islam. Setiap muslim wajib melaksanakan perbuatannya mengikuti perintah dan larangan Allah Taala.
Artinya, syariat Islam wajib menjadi patokan adat/budaya, bukan sebaliknya. Dengan demikian, adat/budaya tidak bisa menjadi dalil maupun kaidah syariat.
Nah, masalahnya, Menag dan para pengusung moderasi justru memosisikan budaya lokal sebagai standar; sebaliknya, ajaran Islam menjadi objek yang distandarkan, yakni Islam harus tunduk dan kalah di bawah budaya lokal.
Inilah sesungguhnya kekeliruan yang nyata dan fatal sehingga tidak bisa kita terima. Ini karena ajaran Islam harus diposisikan sebagai furqân (pembeda antara hak dan batil) bagi budaya lokal. Akan tetapi, penganut moderasi justru membalikkan posisi budaya lokal sehingga menjadi furqân, yakni standar atau tolok ukur menilai ajaran Islam. Jelas ini merupakan penyimpangan!
Dengan demikian, inilah salah satu bahaya yang harus umat pahami. Atas nama moderasi beragama, keyakinan pada ajaran agama dan ketaatan pada syariatnya harus tunduk dengan budaya lokal. Umat dipaksa membiarkan sesuatu yang bertentangan dengan agamanya.
