Baru-baru ini, sebuah pembahasan di media sosial Threads, menunjukkan adanya pergeseran kekhawatiran terbesar di kalangan generasi muda (Gen Z dan Milenial), yaitu mereka kini lebih takut pada kemiskinan daripada takut tidak menikah. Fenomena ini bukan hanya tren sesaat, melainkan indikasi adanya luka sistemik yang mendalam pada aspek ekonomi.
Faktanya, pembahasan ini begitu viral hingga disukai lebih dari 12.500 kali dan ditayangkan ulang oleh lebih dari 207.000 pengguna. Angka ini merefleksikan bahwa mayoritas anak muda setuju bahwa ketakutan terbesar mereka telah bergeser dari status sosial ke masalah finansial. Pergeseran ini sangat relevan mengingat jumlah populasi Indonesia saat ini didominasi oleh Gen Z (74,93 juta jiwa) dan Gen Milenial (69,38 juta jiwa) (Sensus Penduduk 2020), menjadikannya isu yang mempengaruhi mayoritas penduduk usia produktif.
Ketakutan menikah, atau marriage-phobia, yang melanda generasi muda saat ini berakar kuat pada ketidakstabilan ekonomi dan tingginya biaya hidup. Data statistik mendukung ketakutan ini: meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pendapatan per kapita Indonesia tahun 2024 naik menjadi sekitar Rp 6,55 juta per bulan, biaya hidup di kota besar seperti Jakarta bisa mencapai Rp 14,88 juta per bulan untuk rumah tangga. Dengan selisih yang mencolok antara pendapatan rata-rata dan biaya hidup, wajar jika pernikahan kini dipandang sebagai beban, bukan berkah.
Anak muda kini menempatkan kestabilan finansial jauh di atas urgensi untuk segera menikah. Pernikahan telah berubah persepsi, dari membuka lembaran hidup baru menjadi semata-mata pos pengeluaran terbesar.
Lonjakan harga kebutuhan pokok, biaya hunian (properti dan sewa), serta ketatnya persaingan kerja dengan upah yang cenderung tidak berkembang menjadi alasan utama penundaan pernikahan. Ditambah lagi dengan narasi populer yang menggambarkan pernikahan sebagai penghalang karier, pembebanan finansial, atau akhir dari kebebasan pribadi.
Jika kita menganalisis lebih dalam, sistem ekonomi Kapitalisme lah yang berperan besar dalam menciptakan kondisi ini. Sistem yang bercirikan biaya hidup tinggi, sulitnya mencari pekerjaan yang layak, dan upah yang rendah, secara melekat menciptakan ketakutan akan kemiskinan pasca-menikah.
Sistem ini diperparah oleh sikap abai negara sebagai regulator yang cenderung lepas tangan (minimalis) dalam menjamin kesejahteraan dasar rakyat. Beban hidup yang seharusnya ditopang oleh jaminan sistemik, kini dipikul sepenuhnya oleh individu, menjadikan pernikahan sebuah risiko finansial. Selain itu, pendidikan yang bercorak sekuler dan pengaruh media liberal turut menumbuhkan gaya hidup materialis dan hedonis, mematok standar pernikahan dan rumah tangga pada kemewahan yang memerlukan modal besar.
Sungguh memprihatinkan, janji suci pernikahan kini hanya dipandang sebagai beban berat yang harus ditanggung, melupakan hakikat pernikahan yang sejati sebagai sumber pahala, pintu kebaikan, dan jembatan mulia untuk melestarikan keturunan.
Untuk mengatasi krisis "takut menikah" yang berakar pada masalah ekonomi akibat penerapan sistem kapitalisme-sekularisme ini, dibutuhkan perubahan pola pikir yang mendasar (sistemik) melalui pengadopsian kerangka pemikiran mendasar dan sistemik dari sistem ekonomi Islam, yang berasas pada sistem (ideologi) Islam.
Dalam kerangka Islam sebagai agama yang berasal dari Zat Yang Maha Pencipta, Allah SWT, telah menetapkan, bahwa pernikahan merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT, bahkan disebutkan sebagai menjalankan setengah dari agama. Maka, dalam pelaksanaan kehidupan pasca akad nikah, hakikatnya merupakan bentuk pelaksanaan ibadah kepada Allah, baik dalam menjalankan perintah - Nya maupun menjauhi larangan- Nya. Masing-masing dari pasangan suami dan istri, haruslah memahami hak dan kewajiban dari salah satu kepada yang lainnya sebagai bentuk konsekuensi dari pernikahan. Maka suami wajib mencari nafkah bagi istrinya, istri wajib menjaga harta dan kehormatan diri dan keluarganya.
Dalam pemenuhan kewajiban masing-masing, keberadaan negara di dalam Islam, berkewajiban untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar setiap warga negara, meliputi sandang, pangan, dan papan, dalam bentuk penyediaan lapangan pekerjaan yang luas melalui sistem ekonomi Islam yang diterapkan yang terintegrasi dalam penerapan aturan Islam secara komprehensif.
Lebih lanjut, Pengelolaan Harta Milik Umum (Milkiyyah Ammah), yakni semisal sumber daya alam strategis, harus dikelola sepenuhnya oleh negara, dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan masyarakat secara langsung, misalnya subsidi penuh untuk kebutuhan rakyat terhadap air, listrik, BBM, gas, dan sebagainya, untuk menekan biaya hidup rakyat, juga pembangunan infrastruktur semisal jalan, jembatan, dan berbagi sarana prasarana umum bagi rakyat, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara gratis.
Selain itu, Sistem Pendidikan harus berbasis akidah, membentuk generasi yang memiliki karakter kuat, menjadikan kebahagiaan hidup semata untuk mencapai keridhoan Allah, bukan sebatas pencapaian materi sebanyak - banyaknya seperti dalam sistem kapilisme materialime. Bahkan dengan kekuatan akidah, kepribadian Islam yang mereka miliki memahami tentang hakikat rizki, sehingga tidak khawatir dengan qodlo (ketetapan) Allah. Tugas mereka hanyalah berupaya mencari rizki yang sesuai dengan syari'at Islam, semata dalam rangka ibadah.
Demikianlah, adanya negara yang menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat, disertai dengan individu yang berkepribadian Islam (bertakwa), serta masyarakat yang sadar terhadap pentingnya menjalankan ibadah kepada Allah sebagai tugas dari diciptakan nya manusia di bumi, menjadikan pandangan pernikahan dan mencari materi (nafkah) berorientasi ibadah, bukan sebatas pencapaian di dunia, sehingga tidak ada ketakutan dalam menjalankan nya.
Wallahualam bishawab.
Oleh : Syifa (Bandung)
