Oleh : Citra Dewi, S.Ag
Generasi Z tumbuh di era teknologi yang sedang berkembang dengan pesat. Bahkan, gen Z di Indonesia menempati posisi teratas yang paling banyak menghabiskan waktu untuk berselancar di Internet. Rata-rata 7 sampai 13 jam setiap harinya.
Generasi kita jauh lebih kreatif dalam menghasilkan uang, khususnya yang berhubungan dengan industri kreatif. Seperti content creator, podcaster, vlogger, sampai mendirikan perusahaan rintisan (start-up) sendiri.
Adapun salah satu karakter gen Z yaitu mampu menerima perbedaan di sekitar. Entah itu agama, suku, ras, adat istiadat, dan sebagainya. Terbukanya akses informasi membuat generasi kita lebih mudah untuk belajar dan memahami sebab-akibat perbedaan yang timbul. Sehingga tidak masalah jika bergaul dengan kelompok yang berbeda dengannya.
Meskipun aktivitasnya lebih sering tiduran sambil scrolling, bukan berarti Generasi Z jadi apatis. Justru, mereka ini paling cepat dalam urusan menyebarkan informasi dan mencari solusi. Sudah banyak aksi yang dilakukan oleh Gen Z dan memiliki pengaruh yang luar biasa meski aktivitas yang dilakukan hanya lewat social media.
Generasi Z dikenal sebagai generasi yang bergantung kepada teknologi, khususnya internet dan media sosial. Setiap harinya, Gen Z disuguhkan oleh berbagai informasi, termasuk apa yang sedang tren hari ini. Mereka bisa merasa kuper, takut dicap nggak gaul, dan cemas jika belum mencoba tren yang ada di internet.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association, stres yang dialami Gen Z disebabkan karena pandemi, ketidakpastian mengenai masa depan, berita buruk di internet, dan media sosial. Gen Z mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap kehidupan pribadi mereka, sehingga jika tidak berjalan sesuai keinginan akan memicu timbulnya stres.
Tak dipungkiri, media sosial telah menciptakan standar dalam berbagai aspek. Kapan waktu yang tepat untuk lulus, bekerja, menikah, dan mempunyai anak. Bagi yang belum mencapainya, hal ini menjadi faktor kecemasan atau anxiety.
*Sasaran Para Kapital*
Heru Nugroho dalam sebuah orasi kebudayaan bertemakan “Teknologi Digital dan Masa Depan Manusia” diselenggarakan oleh program studi Ilmu Komunikasi (prodi Ilkom), Universitas Islam Indonesia (UII) pada Rabu (03/07) menjelaskan tentang digitalisasi kapitalisme. Ia mengungkapkan, seiring perkembangan zaman, kapitalisme merambah ke dunia digital, yang merubah cara produksi manusia lewat hubungan sosial dan komunikasi sehingga membentuk platform society.
Di samping perkembangan teknologi digital, perkembangan masyarakat dan ekonomi turut andil dalam memperkuat proses kapitalisasi. Pada awalnya, kapitalisme masih menggunakan teknologi analog, kemudian berkembang menjadi otomatisasi pabrik, teknologi digital, dan saat ini menjadi platform society.
Pada hakikatnya tujuan dari semua tahapan kapitalisme teknologi digital adalah sama, yakni ekspansi pasar, penguasaan, dan profit, namun lebih diperkuat oleh platform.
Heru juga menjelaskan mengenai surveillance capitalism, yaitu suatu kondisi ketika manusia dijadikan sebagai bahan baku gratis untuk praktek komersial tersembunyi. Alih-alih menggunakan riset, para kapitalis memanfaatkan pengalaman manusia sebagai data untuk produk mereka.
Sehingga jika menelisik lebih jauh, posisi gen z sebagai “pemain” digital tidak serta-merta menjadikannya pemain kunci yang bisa mengendalikan ekonomi digital. Sejatinya, yang dimaksud “pemain” adalah pengguna digitalisasi tersebut. Adapun “pengendali”-nya tetaplah negara adidaya yang kini menguasai banyak teknologi. Dengan demikian, lebih tepat jika dikatakan bahwa pemuda justru merupakan sasaran pangsa pasar ekonomi digital itu sendiri, alih-alih jadi pengendali.
*Menghancurkan Identitas Generasi*
Digitalisasi dalam paradigma kapitalisme sangat rentan menyibukkan para pemuda untuk sekadar mengejar kepentingan materi hingga melupakan potensi hakiki mereka, yakni potensi intelektual sebagai generasi. Tata kelola yang serba kapitalistik hanya akan membajak potensi berharga pada diri pemuda.
Karena dalam kapitalis sendiri kebahagiaan seseorang diukur dari banyaknya materi yang dimiliki, akhirnya dengan adanya kapitalisasi digital, gen z sebagai generasi yang mendominasi diarahkan untuk mengasilkan pundi materi sebanyak-banyaknya lewat aktivitas mereka di social media.
Pengarusan ide-ide sekuler dan liberal melalui digitalisasi pun sangat berpotensi mengikis—bahkan menghilangkan—identitas para pemuda muslim. Promosi ide-ide kebebasan dan gaya hidup hedonis begitu mudah kita dapati melalui arus digitalisasi.
Pemikiran dan budaya asing makin tidak terhindarkan, bahkan kerap dicitrakan sebagai tren yang menarik nan estetik. Gaya hidup permisif ala Barat, perilaku konsumtif yang berlebihan, ataupun transfer pemikiran liberal yang diusung oleh tokoh-tokoh influencer yang dikagumi para pemuda, menjadi hal yang tidak asing lagi dan begitu dekat dengan mereka.
Sangat tidak heran banyak Gen Z yang sudah dikendalikan oleh ide sekuler tersebut sebagai ide dari kapitalis itu sendiri lewat konten-konten yang mereka buat atau bagian. Sungguh, kondisi ini menjadikan para pemuda—khususnya pemuda muslim—berada dalam bahaya besar karena mengancam identitas keislaman mereka.
*Sistem Islam Sebagai Perisai*
Sesungguhnya, digitalisasi adalah produk peradaban yang bersifat universal sebagaimana sebuah alat yang pengaruhnya tergantung dari motif penggunanya. Pengaruh arus digitalisasi sangat ditentukan oleh sistem yang diterapkan oleh negara. Ini karena berbagai kebijakan dan prosedur dalam arus digitalisasi saat ini tidak terlepas dari kebijakan negara.
Islam memandang bahwa segala sesuatu harus dipergunakan dengan menghadirkan kesadaran akan hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta. Walhasil, digitalisasi juga akan dipandang sebagai karunia Allah Taala untuk mengumpulkan pundi-pundi amal demi meraih rida-Nya. Pemanfaatannya pun akan senantiasa terikat dengan syariat-Nya.
Oleh karenanya, butuh peran negara dengan sistem sahih untuk memastikan arus digitalisasi berjalan tanpa merusak fitrah dan identitas generasi, dan hanya Islam satu-satunya agama yang memiliki sistem yang mengatur kehidupan bermasyarat dan bernegara yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah.
Khilafah adalah negara independen yang tidak bergantung pada kekuatan asing, termasuk dalam bidang teknologi digital. Kemandirian ini memungkinkan negara untuk mengembangkan sendiri infrastruktur digital, perangkat lunak, keamanan siber dan teknologi kecerdasan buatan, semua ditujukan sepenuhnya untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim, bukan untuk menguntungkan satu pihak. Khilafah akan memastikan bahwa setiap kebijakan digital, pendidikan dan informasi selalu berpihak pada penjagaan akidah, akhlak, dan intelektualitas umat.
Khilafah wajib menyediakan berbagai sarana, prasarana, serta media yang berfungsi integral dengan konsep penjagaan generasi. Integrasi instrumen digital dengan pendidikan generasi harus disesuaikan dengan kebutuhan usianya, jangan sampai kebablasan.
Gadget beserta konten digital di dalamnya adalah instrumen yang harus diarahkan untuk ketakwaan, dakwah, dan amal saleh, bukan untuk melenakan, apalagi membinasakan generasi. Untuk itu, Khilafah tidak akan membiarkan peredaran konten-konten yang merusak generasi, seperti pornografi, judol, pinjol, gim online, serta media sosial tanpa batas di dalam gawai milik warganya.
Sudah saatnya generasi pemuda muslim menyadari hal ini dan segera melepaskan diri dari jebakan digitalisasi yang membajak potensi dan merusak identitas diri mereka, serta terlibat dalam perjuangan menghadirkan sistem khilafah.
