Oleh: Mei Widiati, M.Pd.
Gagasan Pandawara Grup—komunitas aktivis lingkungan muda asal Bandung—yang mengajak masyarakat Indonesia patungan membeli hutan, sontak mengundang perhatian publik. Ide ini dilontarkan melalui media sosial di tengah rangkaian bencana banjir bandang dan longsor di Sumatera yang kuat diduga berkaitan dengan deforestasi masif.
Unggahan tersebut bukan sekadar ajakan donasi, melainkan jeritan moral generasi muda yang menyaksikan hutan terus dialihfungsikan menjadi perkebunan dan kawasan industri, sementara negara tampak tak berdaya—atau tak berkehendak—menghentikannya.
Pertanyaan pun mengemuka:
- Mengapa sampai muncul gagasan “membeli hutan”?
- Apakah ini solusi, atau justru sindiran keras atas kegagalan negara menjaga amanah alam?
Fakta: Ketika Hutan Rusak, Bencana Menjadi Rutin
Bencana ekologis di Sumatera—banjir bandang, longsor, rusaknya ekosistem—bukan peristiwa alamiah semata. Ia merupakan konsekuensi dari pembabatan hutan, pertambangan, dan perkebunan skala besar yang dilegalkan oleh kebijakan.
Secara hukum positif, hutan memang tidak diperjualbelikan. Namun dalam praktiknya, hak guna usaha, konsesi, dan izin pengelolaan telah mengubah hutan dari penyangga kehidupan menjadi komoditas ekonomi. Yang hijau disulap menjadi “emas”.
Ketika pemerintah memberi keleluasaan pada korporasi besar untuk mengeksploitasi hutan, sementara dampak kerusakannya ditanggung rakyat, maka wajar jika generasi muda melontarkan gagasan ekstrem: kalau hutan bisa dikuasai modal, mengapa rakyat tidak boleh menyelamatkannya?
Ini bukan solusi teknis, melainkan kritik sistemik.
Akar Masalah: Sekularisasi dan Kapitalisasi Alam
Masalah utama kerusakan hutan bukanlah kurangnya aktivisme, melainkan sistem sekuler-kapitalistik yang menjadi fondasi pengelolaan sumber daya alam.
Dalam sistem sekuler, agama dipisahkan dari kebijakan. Alam tidak dipandang sebagai amanah dari Allah, tetapi sebagai aset ekonomi. Dalam sistem kapitalistik, nilai sesuatu ditentukan oleh keuntungan, bukan kemaslahatan.
Akibatnya:
- Hutan dipandang sebagai komoditas,
- Negara berperan sebagai pemberi izin,
- Korporasi menjadi penguasa,
- Rakyat dan lingkungan menjadi korban.
Padahal Allah SWT telah mengingatkan:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…” (TQS. Ar-Rum: 41)
Kerusakan ekologis hari ini adalah buah dari sistem yang membiarkan segelintir orang menguasai sumber daya vital demi akumulasi modal. Negara tidak bertindak sebagai penjaga, melainkan fasilitator kepentingan ekonomi.
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah)
Namun kebijakan yang merusak hutan jelas membahayakan generasi kini dan mendatang.
Patungan Beli Hutan: Tanda Keputusasaan terhadap Negara
Gagasan Pandawara sejatinya menunjukkan paradoks besar:
di negeri yang kaya sumber daya, rakyat justru harus “menebus” alamnya sendiri.
Ini menandakan hilangnya kepercayaan bahwa negara akan menjalankan perannya. Ketika negara gagal melindungi hutan, rakyat dipaksa mengambil peran di luar kapasitasnya.
Padahal dalam Islam, rakyat tidak dibebani tanggung jawab struktural yang seharusnya diemban negara.
Solusi Islam: Alam adalah Amanah, Negara Wajib Menjaga
Islam menawarkan paradigma yang sangat berbeda dalam memandang alam dan kekuasaan.
1. Hutan adalah Kepemilikan Umum, Bukan Komoditas
Dalam Islam, sumber daya alam strategis adalah milik umum (milkiyah ‘ammah) yang tidak boleh dikuasai individu atau korporasi.
Rasulullah SAW bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Hutan sebagai penyangga kehidupan jelas termasuk dalam kategori ini. Negara haram menyerahkannya kepada swasta untuk dieksploitasi.
2. Negara sebagai Ra’in (Pengurus), Bukan Broker
Pemimpin dalam Islam bukan penjual izin, tetapi pengurus amanah. Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Negara wajib menjaga ekosistem, mencegah eksploitasi berlebihan, dan memulihkan kerusakan—bukan membiarkannya demi investasi.
3. Pembangunan Harus Tunduk pada Kemaslahatan
Islam tidak menolak pembangunan, tetapi menolak pembangunan yang merusak.
Allah berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (TQS. Al-A’raf: 56)
Setiap kebijakan harus diukur dengan standar halal–haram dan maslahat–mafsadat, bukan pertumbuhan ekonomi semata.
4. Rakyat Tidak Perlu Patungan, Negara Wajib Bertindak
Dalam sistem Islam, rakyat tidak diminta membeli hutan. Negara menggunakan baitul mal untuk: reboisasi, perlindungan ekosistem, pemulihan lingkungan, dan pencegahan bencana.
Karena menjaga alam adalah bagian dari menjaga jiwa (hifzh an-nafs), salah satu tujuan utama syariat.
Penutup: Pandawara adalah Cermin, Bukan Solusi Akhir
Gagasan patungan beli hutan bukan solusi hakiki, tetapi cermin kegagalan sistem. Ia menunjukkan betapa jauhnya negara dari peran sejatinya sebagai penjaga amanah.
Selama alam diperlakukan sebagai komoditas dan kebijakan tunduk pada kepentingan modal, kerusakan ekologis akan terus berulang—dan rakyat akan terus menjadi korban.
Islam menawarkan jalan keluar yang mendasar: mengembalikan pengelolaan alam pada nilai wahyu, menjadikan negara sebagai pelindung, dan menempatkan hutan sebagai amanah untuk generasi, bukan warisan bagi oligarki.
Allah mengingatkan:
وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ ٱلۡأَرۡضِ
“Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi…” (TQS. Al-An’am: 165)
Pertanyaannya kini bukan: Mampukah rakyat membeli hutan? Melainkan: maukah negara kembali menjalankan amanah dari Allah? Hutan sebagai amanah Allah akan dapat dilaksanakan dengan baik dan semestinya, apabila negara menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb.
